DULU DIKENAKAN BANGSAWAN, KINI DIPAKAI SAAT ACARA PERNIKAHAN
Kain tudung manto adalah penutup kepala khas Melayu, dipakai perempuan yang sudah menikah pada saat acara adat seperti pernikahan. Namun tahukah, tudung manto dulu punya tempat istimewa, karena hanya dipakai kalangan bangsawan. Lalu, bagaimana eksistensi tudung manto di masa kini?
Disbudpar Batam- Lembaran kain hitam berbahan sifon, terbentang di tengah-tengah ruangan. Memiliki panjang 100 sentimeter (cm) dan lebar 25 cm, kain ini direntangkan dalam area pembidang berbentuk segi empat. Untuk menghubungkan pembidang yang berbahan kayu dengan lembaran kain, digunakan benang sebegai perentang tepian kain, yang sebelumnya telah dilapisi kain tebal.
Sejurus kemudian, kain yang diregangkan tersebut dibuatkan tali air berupa garis lurus yang berguna membentuk corak. Setelah itu, barulah pekerjaan menekat atau membordir mulai dilaksanakan sesuai motif yang akan dibuat.
Namun, kegiatan menekat ini tak bisa sebentar. Perlu keterampilan tertentu untuk menekat tudung manto, karena prosesnya menggunakan benang khusus bernama pelingkan. Benang ini berbentuk pipih dan lebar, tak seperti benang umum kebanyakan.
Benang yang digunakan biasanya berwarna emas dan silver. Misalnya, untuk kain berwarna hitam, cocok dengan benang berwarna silver dan emas, kain biru cocok dengan benang warna silver.
Tudung manto memiliki banyak corak seperti awan larat, lebah bergantung, dan tampuk manggis. Di bagian tengah tudung manto, disebut bunga tabur.
Tentu, perlu kehati-hatian dan ketelitian saat menekat benang menjadi sulaman sesuai corak yang diinginkan. Setelah penekatan selesai, kain tebal dilepaskan dan diganti dengan benang lilit ubi untuk memasang oyah atau renda.
Karena dikerjakan manual dan butuh ketelitian ekstra, tak heran, proses pembuatannya memakan waktu antara 15 hari hingga sebulan lamanya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Muhamad Zen mengatakan, tudung manto merupakan kelengkapan pakaian adat perempuan Melayu. Kata tudung manto berasal dari kata tudung, yang artinya tutup kepala, sedangkan manto merupakan sulaman atau bordiran yang menggunakan pelingkan atau benang khusus untuk manto.
“Tudung manto merupakan selendang yang diberikan motif benang khusus, namun saat dikenakan, fungsinya sebagai tudung atau tutup kepala,” kata Zen, Rabu (13/5).
Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), jelas Zen, nama tudung manto sebenarnya sudah tak asing lagi. Tutup kepala itu diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 1755 silam, dimana saat itu merupakan zaman Kerajaan Riau Lingga yang berkuasa di semenanjung Melayu.
“Namun, tudung manto tetap dibuat hingga sekarang di wilayah Kepri,” tutur pria yang hobi membuat songket tersebut.
Tudung manto, sambung Zen, dikenakan untuk menutup kepala dengan sebagian kain dibiarkan agak terjurai atau terjuntai ke samping pipi kanan dan kiri. Penutup kepala yang dipakai perempuan Melayu ini, biasanya dipadupadankan dengan baju kurung Melayu tradisional.
Zen menceritakan, pada zaman dulu, tudung manto kebanyakan hanya dipakai oleh kaum bangsawan untuk acara adat, seperti perkawinan. Di Kesultanan Balai Rong Sari di Aceh, menurutnya, juga menggunakan tudung manto saat acara tertentu.
“Di negara tetangga seperti Malaysia, tudung manto juga dikenakan perempuan Melayu, tak ubahnya seperti di Kepri dan Riau,” sebutnya.
Zen juga menjelaskan, tudung manto terbuat dari kain sifon dengan warna tertentu seperti kuning, hijau, merah, biru, dan hitam. Semua kalangan bisa memakai warna apa saja, kecuali warna kuning. Memang, pada masa itu tudung manto dipakai oleh ibu-ibu berdasarkan keturunan. Khusus warna kuning, biasanya dikenakan keturunan tengku, warna hijau untuk tuan said, sementara warna biru bangsawan.
Pada umumnya, tudung manto yang dipakai berwarna hitam.
“Dahulu tudung manto dipakai untuk perempuan yang sudah menikah, namun sekarang siapa saja bisa pakai,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Ardiwinata mengatakan, tudung manto merupakan warisan budaya tak benda. Karena itu, generasi zaman sekarang harus mengetahui peninggalan budaya tersebut dan merawat eksistensinya.
“Memang sudah mulai jarang yang mengenakan, namun tak ada salahnya untuk tetap dipertahankan eksistensinya, syukur-syukur generasi sekarang mau memakainya,” tutur Ardi.
Menurut Kepala Dinas, tudung manto merupakan salah satu peninggalan yang menandakan jati diri bangsa. Karena itu, pihaknya akan mendorong agar lebih banyak warga Batam yang melestarikan atau mengenakan salah satu item busana tersebut.
“Bagi adik-adik yang ingin mengetahui tentang tudung manto, silahkan datang ke Kantor Disbudpar Batam di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM), kami akan menjelaskan detailnya,” tutupnya