Tanjung Uma Menata Cahaya: Panggung Rakyat yang Menghidupkan Kembali Tradisi Melayu

Disbudpar Kota Batam – Suasana pesisir Tanjung Uma berubah hangat pada Ahad malam, 16 November 2025. Lapangan Sepak Bola Tanjung Uma—yang sehari-hari menjadi ruang bermain anak-anak dan tempat berkumpul warga—malam itu menjelma menjadi pusat denyut budaya. Di bawah temaram lampu panggung, masyarakat dari berbagai usia datang berbondong-bondong untuk menyaksikan gelaran Julang Budaya, sebuah pentas rakyat hasil kolaborasi Dinas Kebudayaan Kota Batam dan LAM Lubuk Baja.

Bagi warga, ini bukan sekadar tontonan akhir pekan. Julang Budaya menjadi momen di mana seni tradisi kembali diberi tempat terhormat di tengah padatnya kehidupan pesisir. Denting alat musik Melayu dari kejauhan menjadi penanda awal malam, mengajak warga untuk merapat dan ikut ambil bagian dalam kehangatan budaya yang lama dirindukan.

Ketua LAM Lubuk Baja, Rohaizat, tak menyembunyikan rasa harunya melihat antusias masyarakat. Ia menuturkan bahwa sanggar binaan LAM Lubuk Baja yang tampil pada malam itu baru saja terbentuk, namun semangat mereka luar biasa. “Baru beberapa kali latihan, tapi mereka sudah berani tampil di depan warga. Ini menunjukkan besarnya keinginan masyarakat untuk kembali merawat budaya,” ujarnya.

Berbagai penampilan mengisi panggung, mulai dari musik tradisional, berbalas pantun, hingga silat anak-anak Tanjung Uma. Penampilan Melayu Akustik binaan Dinas Kebudayaan pun menambah warna suasana. Namun perhatian besar malam itu tertuju pada Sanggar Tuah Madani—ikon seni Tanjung Uma yang sudah berkali-kali mengharumkan nama kampung di berbagai festival kota.

Tarian mereka bukan sekadar gerak. Ia adalah cerita tentang laut, kampung, serta kehidupan pesisir yang membesarkan banyak tokoh Melayu Batam. Gerak yang mengalun lembut namun tegas itu menyiratkan pesan bahwa modernisasi tak pernah mampu menghapus jati diri.

Dalam sambutannya, Ketua LAM Kota Batam, YM Dato’ Wira Setia Utama Raja Haji Muhammad Amin, menegaskan kembali peran penting Tanjung Uma dalam sejarah adat Melayu di Batam. “Banyak tokoh besar lahir dari kampung ini. Dari ketua pertama LAM hingga ketua keempat, semuanya berasal dari Tanjung Uma. Ini menunjukkan kuatnya akar budaya di sini,” tuturnya.

Ia menambahkan, keberlangsungan kebudayaan tidak hanya bergantung pada lembaga adat atau pemerintahan, tetapi pada kampung-kampung yang tetap merawat tradisi. “Jika kampungnya hidup, maka budaya Melayunya pasti hidup,” katanya.

Dari sisi pemerintah, Dinas Kebudayaan Kota Batam melihat Julang Budaya sebagai panggung pembelajaran sekaligus pelestarian. Kepala Bidang Kebudayaan, Samson Rambah Pasir, menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi ruang bagi warga untuk menampilkan kemampuan seni mereka. “Kami siapkan fasilitasi, masyarakat yang menghidupkan panggungnya. Dan ternyata hasilnya luar biasa,” ungkapnya.

Ia juga menilai bahwa kegiatan seperti ini mampu membangkitkan kembali sanggar-sanggar yang sempat vakum. “Banyak grup lama kembali aktif. Anak-anak muda mulai mengenal seni Melayu dari kampungnya sendiri,” tambahnya.

Ketika malam semakin larut dan lampu panggung perlahan diredupkan, warga Tanjung Uma tetap bertahan sejenak, menikmati hangatnya kebersamaan. Yang tersisa bukan hanya denting musik atau tepuk tangan, tetapi rasa bangga bahwa budaya Melayu masih hidup kuat di tengah mereka.

Julang Budaya menjadi penegas bahwa kemajuan Kota Batam tidak harus menjauhkan masyarakat dari identitas. Justru dari kampung kecil seperti Tanjung Uma, generasi muda kembali diingatkan bahwa tradisi bukan hanya warisan—tetapi napas yang perlu terus dijaga dan diteruskan.